Setelah merasa kurang puas dengan PAUD, kami menyekolahkan Ray di Kelompok Bermain swasta dekat rumah. Kami menyampaikan kepada guru-guru di sana perihal Ray, dan mereka menerimanya. Namanya juga sekolah kecil, tentu belum secanggih sekolah-sekolah mahal dan terkenal itu. Kami hanya ingin Ray belajar bersosialisasi dan bertemu dengan banyak teman, siapa tahu dia mau “bicara”.
Ray beradaptasi. Agak lama. Masa awal sekolah adalah masa perjuangan buat Mama. Mama mengantar sendiri Ray ke sekolah karena waktu itu sedang tidak ada asisten di rumah. Setelah itu baru Mama berangkat kerja (seminggu tiga kali Mama datang terlambat, Alhamdulillaah bos Mama pengertian) . Ray ditinggal di rumah dengan Mbah Ti dan Affan, adiknya yang masih bayi.
Semester II Ray sudah lebih tertib. Frekuensi ke luar kelas sewaktu pelajaran berlangsung sudah mulai berkurang. Kalaupun itu terjadi, paling cuma sebentar dan mudah dibujuk kembali masuk kelas.
“Mau main prosotan ya? ya deh boleh, satu kali merosot ya… 1, 2, 3, meluncuuur…”
“yaa… yuk masuk kelas lagi yuk…”, Mama lari menggandeng Ray masuk kelas. Dia tertawa-tawa. Tak jarang Mama bermain pura-pura mengejar dia.
Mama selalu bersiap di dekat pintu kelas, sedangkan ibu-ibu pengantar lainnya sedang asyik ngobrol dengan yang lain. Duduk-duduk, cerita-cerita. Hmm, memperhatikan Ray belajar di kelas jauh (sangat jauh) lebih menyenangkan daripada ikut ngobrol dengan ibu-ibu itu. Mama senyum-senyum sendiri melihat Ray, dia bertepuk tangan ketika anak-anak menyanyi, ikut melafalkan doa-doa (meskipun pengucapannya belum benar). Dalam hati Mama bahagia dan bersyukur bisa menikmati momen seperti ini.
Sebelum bersekolah, kami juga memeriksakan Ray ke dokter dan membawanya terapi wicara seperti pernah dituliskan di sini. Bahkan kami pernah mengundang seorang terapis ke rumah. Seminggu sekali beliau datang.
Waktu itu, yang terpikirkan oleh kami adalah bagaimana mengejar ketertinggalan Ray. Terapis yang datang ke rumah mengobservasi Ray. Pekan berikutnya dia datang, mengkondisikan Ray belajar dengan duduk di kursi seperti di sekolah. Duuh, Ray tidak mau menurut. Lari-lari, teriak-teriak, nangis.
Kurang lebih empat kali terapis itu datang ke rumah, kami tidak melihat kemajuan berarti. Ray hampir selalu teriak-teriak kalau diajak belajar. Mama dan Ayah mulai berpikir bahwa cara ini bukan yang terbaik untuk Ray. Ada kesan paksaan dan tidak ‘fun’. Kami putuskan untuk tidak mendatangkan terapis ke rumah.
Akhirnya, kami lebih memilih cara yang lebih menyenangkan, dengan mengajaknya bermain, bernyanyi, tidak harus dalam kondisi belajar. Kami bacakan buku-buku cerita. Kami banyak mengajaknya bicara dan lebih sering bertemu dengan orang-orang asing. Kami mengajaknya berkunjung ke rumah teman-teman Ayah, yang sebelumnya belum pernah dia kenal. Kami ajak bermain di taman. Di area bermain anak-anak, dia belajar mengantri. Kami juga sering mengajaknya belanja ke pasar tradisional, kami kenalkan apa-apa saja barang yang dibeli.
Alhamdulillaah, ada kemajuan. Ray sudah mulai bicara, dengan bahasa yang belum jelas. Namun demikian, syukur kepada Allah SWT tiada henti. Setiap kemajuan Ray kami hargai, sangat kami hargai.
Maafkan Mama dan Ayah, ya, Nak, bila dalam proses belajarmu, pernah ada hal-hal yang membuatmu kurang nyaman. Maafkan kami, ya, Nak, kami masih harus terus belajar untuk memahamimu…